Bagi Alumni ITS yang ingin berbagi tulisan-tulisan untuk dimuat di Blog ini, kami persilahkan menghubungi Email: purwoko.e28@gmail.com dan CC kan ke: dewa.yuniardi@gmail.com

Peneliti ITS Sri Fatmawati raih penghargaan L’Oreal di UNESCO International Fellowship 2013

Peneliti Muda ITS Surabaya, Sri Fatmawati
L’Oreal bekerjasama dengan UNESCO kembali menggelar program “For Women In Science” (FWIS). Sejak tahun 1998, FWIS telah memberikan penghargaan kepada lebih dari 1.600 wanita yang berasal lebih dari 100 negara, dan dalam sebuah acara malam anugerah di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis.

Tahun 2013 ini, sebanyak 15 perempuan peneliti muda dari seluruh dunia menerima penghargaan FWIS International Fellowship, termasuk diantaranya adalah Sri Fatmawati, seorang perempuan peneliti dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

“Penghargaan ini merupakan sebuah kehormatan bagi saya. Ini menjadi pendorong bagi para perempuan peneliti muda Indonesia seperti saya untuk terus memajukan sains. Semoga penelitian saya dapat memberikan kontribusi penting untuk mengobati penyakit berbahaya yang sering terjadi di Indonesia,” ujar Sri Fatmawati, S.Si, MSc, PhD, pemenang L’Oreal – UNESCO International Fellowship 2013 dalam siaran pers diterima LICOM dari Paris, Perancis, Jumat (29/03/2013).

Acara yang berlangsung selama 3 hari di berbagai lokasi ikonik di Paris tersebut meliputi acara Science Forum (forum sains) di Paris Observatory dimana ke-15 peraih FWIS International Fellowship mempresentasikan proyek riset mereka yang dihadiri oleh Claudie Haigneré, mantan menteri, astronot dan ketua Universcience.

Kemudian, ada Dinner Debate (debat santap malam) yang menghadirkan 8 FWIS Laureate terdahulu yang dibuka oleh Menteri Prancis untuk Hak Kaum Perempuan, Najat Vallaud-Belkacem. Serta, Awards Ceremony (malam penganugerahan) L’Oréal-UNESCO FWIS 2013 di Universitas Sorbonne yang dihadiri oleh Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO, dan Jean-Paul Agon, Chairman dan CEO dari L’Oréal dan Ketua dari L’Oréal Foundation.

Penelitian pasca sarjana Sri Fatmawati, baik di Indonesia maupun Jepang berfokus pada analisa potensi medis dari zat-zat alami yang berasal dari tumbuhan dan jamur, terutama yang digunakan dalam obat-obatan herbal. Riset yang digunakan untuk program FWIS adalah penelitian yang berdasarkan pada spons yang dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti malaria, infeksi, kanker dan Alzheimer yang merupakan penyakit yang sering ditemukan di berbagai belahan dunia.

Sri Fatmawati diberikan kesempatan melanjutkan penelitiannya di Institute of Natural Products Chemistry National Center for Scientific Research (CNRS) di Gif-sur-Yvette, Perancis dan kemudian akan dilanjutkan dengan kolaborasi penelitian jangka panjang dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.

Setiap tahunnya, program L’Oréal-UNESCO FWIS memberikan penghargaan kepada 15 perempuan peneliti yang memiliki pendidikan tingkat doktoral atau postdoktoral, dengan fellowship (beasiswa) untuk meningkatkan keahlian mereka di institusi terkemuka di seluruh dunia. Masing-masing fellowship tersebut bernilai 40.000 dolar AS dan diberikan untuk jangka waktu hingga 2 tahun untuk proyek yang dikerjakan di luar negara asal mereka.

“Pada perayaannya yang ke-15 tahun, program L’Oréal-UNESCO FWIS telah berkembang menjadi sebuah program yang diakui secara global, yang memberikan visibilitas, suara publik dan dukungan bagi para peneliti perempuan. FWIS merupakan sumber motivasi dan inspirasi bagi para peneliti muda masa kini untuk membuat perubahan dunia di masa mendatang,” kata Vismay Sharma, President Director, PT. L’Oréal Indonesia.

Suka Belajar usai Tahajud

Penelitian tentang sponge, binatang yang hidup di laut, membawa Sri Fatmawati SSi MSc PhD meraih penghargaan prestise di Prancis. Hasil penelitian dosen ITS Surabaya itu membuka peluang ditemukannya obat untuk kanker. Wartawan ANY RUFAIDAH ikut menyaksikan penyerahan penghargaan kelas dunia untuk perempuan asal Sampang, Madura, tersebut.
 
SENYUM Sri Fatmawati mengembang ketika Elizabeth Tchoungi dari L’Oreal memintanya bergabung dengan deretan para peneliti yang lebih dulu berdiri di panggung Grand Amphitheatre, Sorbonne University, Paris, Prancis, Kamis malam (28/3) atau Jumat dini hari Wita.

Fatma, begitu dia biasa disapa, merupakan seorang di antara 15 perempuan peneliti dari seluruh dunia yang meraih penghargaan International Fellowship L’Oreal for Women in Science 2013.

Mengenakan kebaya ungu, alumnus Jurusan Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, tersebut terlihat percaya diri tampil di hadapan ribuan audiens yang memenuhi auditorium berhias patung ilmuwan Descartes dan Pascal tersebut.

Tampak di deretan kursi terdepan Dirjen UNESCO Irina Bokova dan Jean Paul Argon, CEO L’Oreal sekaligus ketua L’Oreal Foundation.

Acara tahunan yang digagas perusahaan kosmetik L’Oreal dan UNESCO tersebut memberikan penghargaan kepada perempuan peneliti dari seluruh dunia untuk karya yang dianggap memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan, terutama sains dan lingkungan hidup.

Mereka juga diharapkan bisa menjadi role model yang mendorong perempuan lain agar mau terjun di dunia riset yang selama ini didominasi kaum laki-laki.

Ada dua jenis penghargaan yang diberikan. Penghargaan utama adalah Laureates untuk peneliti senior. Lima pemenang dari lima benua. Selama 15 tahun program itu berlangsung, sudah dua Laureate menerima penghargaan Nobel. Yakni, Elizabeth Blackburn dari Amerika Serikat yang menjadi Laureates pada 2008. Dia meraih Nobel di bidang ilmu kedokteran. Setahun kemudian, Yonath dari Israel menerima Nobel di bidang kimia.

Penghargaan di bawahnya adalah international fellowship untuk peneliti yang masih berusia kurang dari 35 tahun. Mereka mendapat beasiswa untuk melanjutkan penelitiannya di universitas yang sudah ditentukan penyelenggara.

Tiap kontingen diwakili tiga pemenang. Fatma merupakan pemenang dari kawasan Asia Pasifik untuk kategori tersebut. Dia mendapat penghargaan bersama dua pemenang lainnya: Kanika Mitra dari Bangladesh dan Enkhmaa Davaasambuu dari Mongolia.

Berkat prestasi itu, Fatma menerima hadiah USD 40 ribu (Rp 388 juta dengan kurs USD 1 = Rp 9.700) dan berkesempatan melakukan penelitian di Institute of Natural Products Chemistry, National Center for Scientific Research (CNRS) Gif-sur-Yvette, Prancis.

Dosen ITS untuk laboratorium bahan kimia alam tersebut bakal melanjutkan penelitiannya tentang sponge, organisme multiseluler yang banyak ditemukan di laut Indonesia.

Menurut dia, sponge mengandung senyawa yang jika dikembangkan bisa dimanfaatkan untuk obat kanker atau alzheimer.

"Selama ini saya meneliti senyawa dari tanaman di darat. Sekarang saya tertarik dengan makhluk hidup di laut karena senyawanya jauh lebih kompleks," tutur perempuan yang mendapat gelar doctor of philosophy (PhD) dari Kyushu University, Fukuoka, Jepang, tersebut.

Fatma mengaku sejak lama jatuh cinta pada senyawa. Ketika melihat makhluk hidup, terutama jenis tanaman, dia selalu penasaran akan berbagai senyawa yang terkandung di dalamnya. Apalagi, sejak kecil dia terbiasa mengonsumsi jamu yang dibuat dari hasil tanaman.

Itulah yang juga menginspirasi dirinya untuk meneliti senyawa jamur lingzhi untuk program S-3 yang ditempuhnya di Jepang.

"Penelitian saya membuktikan, senyawa dalam jamur lingzhi bisa dimanfaatkan untuk obat diabetes," tuturnya.

Penghargaan yang diterima sebagai peneliti dunia itu telah diimpikan sejak tujuh tahun silam.

"Saya melihat leaflet tentang acara itu pada 2006 di kampus. Setelah baca, saya langsung bertekad, suatu hari nanti saya jadi pemenangnya," ungkap putri pasangan Siti Hasanah dan Muhammad Munif itu lantas tertawa lepas.

Pembawaannya yang ramah dan ceplas-ceplos membuat orang yang pertama mengenal tak menyangka bahwa Fatma adalah seorang peneliti yang betah berjam-jam di laboratorium.

"Jangan dikira peneliti itu kutu buku, lho. Saya juga mengikuti perkembangan mode. Tapi, bapak dan suami saya selalu memberikan masukan atas penampilan saya," tutur perempuan kelahiran Pandiyan, Sampang, Madura, 3 November 1980 (33 tahun), tersebut.
Fatma bercerita, berbagai prestasi yang dia raih berawal dari mimpi.

"Tapi, mimpinya bertahap. Misalnya, waktu kuliah S-1, saya bermimpi bisa kuliah S-2, dan seterusnya," kata ibu Fahira Yumiko Azzahra dan Filza Michiko Farzama tersebut.

Karena itu, tak heran, setelah meraih penghargaan dari Prancis tersebut, dia mulai bermimpi untuk meraih Nobel.

"Namanya mimpi, kan harus tinggi, setinggi langit," tegas penghobi karaoke itu.

Menurut Fatma, orang yang berada di balik kesuksesan dirinya adalah sang ayah. Ayahnya yang "hanya" guru SD di Sampang, Madura, itu terus mendorong dirinya untuk bersekolah setinggi-tingginya.

"Perempuan itu bermartabat kalau punya ilmu," begitu Fatma menirukan pernyataan sang ayah kala dirinya masih kanak-kanak.

Sang ayah tak hanya bisa meminta, dia juga menemani Fatma belajar dan memenuhi semua kebutuhannya dalam menuntut ilmu.

"Saya paling suka belajar malam, setelah tahajud. Nah, biasanya Bapak juga bangun dan menemani saya belajar. Jadi, saya sungkan kalau malas-malasan," tutur sulung tiga bersaudara itu.

"Untuk acara penerimaan penghargaan ini, saya harus pakai baju formal. Bapak saya yang membelikan kainnya, terus beliau juga yang keliling Madura untuk mencari penjahit terbaik," cerita Fatma dengan bangga.

Dukungan yang tidak kalah penting, tentu saja, datang dari sang suami, Adi Setyo Purnomo SSi MSc PhD. "Dulu dia itu saingan terberat saya saat kuliah," katanya lantas terbahak.

Mereka bertemu ketika sama-sama kuliah di Teknik Kimia ITS angkatan 1998. Empat tahun kemudian, mereka lulus bersamaan.

"Lulus pas empat tahun itu susah. Waktu itu hanya ada empat orang. Termasuk saya dan suami," ujarnya.

Karena memiliki passion yang sama di bidang pendidikan, setelah menikah, keduanya tetap meneruskan sekolah. Kebetulan, keduanya berhasil mendapat beasiswa ke Jepang hingga bisa membentuk keluarga kecil di Negeri Sakura itu.

Fatma mengakui, menjadi perempuan peneliti bukan hal yang mudah. Tidak hanya dituntut bekerja lebih keras agar kemampuannya diakui, perempuan peneliti masih harus mengalokasikan waktu untuk mengasuh anak-anak.

Meski begitu, pengalaman yang didapat Fatma membuktikan bahwa perempuan tetap bisa berkarya di tengah kesibukan sehari-hari mengurusi rumah tangga. Bahkan, lebih dari itu, mencatat prestasi internasional.

“Saya berharap hasil penelitian saya nanti bisa bermanfaat untuk pengobatan berbagai penyakit," tegasnya.

Karena itu, Fatma membuka peluang selebar-lebarnya untuk bekerja sama dengan peneliti lintas ilmu seperti di bidang kedokteran. "Untuk mengembangkan senyawa menjadi obat, dibutuhkan pendekatan banyak ilmu. Saya dan laboratorium di ITS sangat terbuka untuk menjalin kerja sama dengan peneliti bidang lain," ungkapnya
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Blog | Kojack | Dewa Yuniardi
Copyright © 2012 - 2016. Blog IKA - ITS Jakarta Raya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger